This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 01 April 2017

THE POWER OF REOG


Senin, 09 Februari 2015




(ANDAIKAN) ADA MUSEUM ANGKUT
DI SAMPANG MADURA

Masih tertanam dalam ingatan saya, masa kecil nan indah di sebuah kampung dekat terminal Sampang, Madura.    Di terminal yang tidak terlalu ramai inilah, awal munculnya jiwa eksplorasi dalam diri anak kampung seperti saya dan teman-teman. 
Siang hari sepulang sekolah, kami berlarian di terminal sambil mencari buah kersen (cerry) yang banyak tumbuh, duduk-duduk di rerumputan dekat kursi tunggu yang panjang membentang, sambil memainkan peralatan yang kami punya.
Sebuah tembok persegi besar berdiri megah dekat menara mirip Rumah Gadang yang bagian dalamnya berisi TV dan di pucuk menara tertera jam besar penanda waktu.  Dan masih teringat pula, tembok besar dekat menara itu bertuliskan “STANPLAATZ SAMPANG”.  Tulisannya bukan memakai logam, tetapi semen yang dibentuk mirip kaligrafi.  Menurut petugas terminal yang sudah beruban waktu itu, kalimat tersebut berasal dari bahasa Belanda yang berarti “Terminal Sampang”.
Entah mengapa, dalam sepengetahuan kami (anak-anak) belum pernah ada kecelakaan di terminal tersebut.  Entah anak tertabrak bus atau angdes.  Tidak ada sama sekali.  Sepinya terminal bukan karena sedikitnya penumpang, melainkan masih banyak ruang terbuka hijau yang rimbun oleh tetumbuhan dan rumput segar meski di dalam lokasi terminal.  Artinya, meski banyak anak bermain, mereka tidak akan masuk jalur kendaraan.  Cukup di lapangan rumput atau di bawah pohon-pohon rindang.  Sangat mengasyikkan.

Ke arah utara tidak jauh dari terminal, berdiri kokoh dan megah bangunan Belanda bertuliskan TREINSTATION.  Di dalam gedung yang sejuk itu, ada tulisan  1 SPOOR” – “2 SPOOR”.  Dalam bayangan kami, tulisan itu bermakna “1 (satu) kereta api  - 2 (dua) kereta api”.  Artinya, hanya ada dua kereta api di Madura.  Yaitu Kereta 1 dan Kereta 2.  Eh, ternyata kami keliru total!  Tulisan tersebut bermakna “Jalur 1 – Jalur 2”.  Kami terkekeh-kekeh saling menyalahkan sesama teman setelah mendapat penjelasan dari Bapak Kepala Stasiun yang juga sudah beruban juga karena sangat senior.
Di stasiun itulah kami sering menaruh “paku usuk” (paku besar untuk atap rumah) di atas rel.  Tentu saja tanpa sepengetahuan petugas stasiun.  Paku itu diikat menggunakan kawat dengan rel sehingga ketika ada kereta melewati dan melindasnya, tidak sampai terlempar jauh.  Hasilnya, paku yang sudah gepeng itu kami jadikan pisau kecil, alat pemotong kuku atau bahkan celurit kecil. 
Jika sudah bosan bermain di sekitar rel, kami melihat kantor operator stasiun lewat jendela besar berhiaskan jeruji besar mirip penjara.  Lewat jendela itulah beberapa alat rumit terbuat dari besi, tembaga, kuningan atau logam lain dibalut kayu, kami lihat.  Ada semacam bel kecil jika ditekan berbunyi “tit tit tit” yang membuat kami takjub.  Baru bertahun kemudian kami mengerti alat tersebut adalah alat pengirim sinyal menggunakan sandi “morse” yang kami dapati setelah menjadi anggota Pramuka. 
Setelah kami besar, berkeluarga, serta merantau di kota-kota lain kami baru sadar, ternyata sebagian besar kenangan kami itu sudah banyak yang hilang.  Stanplaatz  Sampang  berubah menjadi Terminal Sampang yang kerindangan pohon serta kehijauan rumputnya sudah tidak semenarik dulu.  Kantor kepala terminal berganti bangunan baru yang modern tetapi menghilangkan ruh asli saat bangunan bekas peninggalan Belanda hilang.
Di stasiun saya sempat terharu dan menahan agar air mata tidak keluar.  Stasiun itu sudah tidak ada.  Bangunan utamanya memang masih ada, tetapi berganti menjadi toko meubel.  Saat mencoba masuk ke dalamnya, sudah tidak ada lagi rel-rel yang melintang dari utara ke selatan.  Sudah dipenuhi berbagai macam hal yang menghilangkan jejak-jejak sebuah stasiun.
Ah, andaikan stasiun itu masih dijaga dan dirawat.  Alat-alatnya masih lengkap dan dijadikan semacam Museum Angkutan dengan segala pernak-perniknya, ada kereta api yang masih eksis berjalan meski sebagai kereta wisata jarak pendek, termasuk bapak kepala stasiun yang baik hati, tentu kenangan indah itu tidak akan hilang begitu saja.  Tentunya kami masih bisa mengajak anak dan istri berpetualang mengunjungi tempat dimana kami biasa bermain sewaktu kecil, sambil mengenalkan alat transportasi yang ada pada waktu itu.  Anda punya pengalaman lain?





Kamis, 10 Mei 2012

Pendididikan - Bersinergi Dengan Pembantu



BERSINERGI
DENGAN PEMBANTU

Keberhasilan suatu program pendidikan kepada anak, dipengaruhi oleh tiga hal penting yang integral.  Yaitu orang tua, sekolah dan lingkungan.  Jika ketiganya berjalan seiring dan saling bekerjasama dengan baik, maka pendidikan akan berhasil sesuai tujuan yang diharapkan.
Sebagai orang tua, saya dan istri berusaha memahami betul ketiga elemen pendidikan tersebut.  Di sekolah dan rumah saya berusaha agar proses pendidikan untuk kedua anak saya berjalan sebaik-baiknya.  Dengan lingkungan yang cenderung baik di perumahan tempat saya tinggal, memudahkan saya dan istri membina mereka berdua selayaknya teori pendidikan.
Sekolah tempat kedua anak saya belajar pun adalah sekolah yang punya basis keagamaan.  Dalam pandangan saya, masa kecil adalah masa emas yang wajib diisi pondasi keagamaan, karakter kuat serta disiplin yang baik.  Harapan ke depan adalah, anak-anak masih teguh memegang karakter dan keimanan yang kuat di tengah derasnya degradasi moral bangsa ini.
udinwidarso.wordpress.com
Seperti ulasan di atas, ketiga elemen sudah kami upayakan dikelola dengan baik.  Tetapi ada satu hal yang selama ini sering terlupakan, yaitu lingkungan rumah yang kadang di luar dugaan justru menggerogoti sistem pendidikan yang sudah kami bangun.
Contoh kejadian pelanggaran sistem itu adalah, ketika anak perempuan pertama saya yang tergolong pemberani, ketakutan masuk kamar mandi.  Padahal kondisi kamar mandi terang benderang.  Usut punya usut, ternyata pembantu saya selalu menakutinya dengan “hantu” dan “pocong” jika anak saya rewel.  Padahal saya selalu menekankan, bahwa manusia yang beriman lebih tinggi derajatnya dibanding jin atau hantu. 
Kejadian kedua menimpa anak perempuan kedua saya.  Meski masih berumur empat tahun, setiap keluar rumah cenderung suka mengenakan celana pendek dan mulai suka berbohong.  Ini menyulitkan ibunya yang selalu berupaya menanamkan kejujuran dan kesopanan (adab) keluar rumah.  Kami baru tahu penyebab dari kejadian-kejadian tadi setelah mendapat laporan dari para tetangga.  Ternyata tanpa sepengetahuan saya, pembantu saya seringkali keluar rumah dengan mengenakan celana pendek.
Dua kejadian di atas sudah cukup bagi saya untuk segera bertindak.  Pertama, saya harus segera menyinkronkan kembali alur pendidikan yang sudah kami buat, dan kedua menanamkan pendidikan moral secara lebih efektif kepada pembantu saya.
Selama ini, kami sering menghadiri “Parenting Skill” yang diadakan oleh pihak sekolah tempat anak saya bersekolah.  Dan memang, pelatihan itu memberikan pengetahuan baru kepada kami berdua bagaimana mendidik anak dengan efektif dan efisien.  Dan yang pasti, hasil parenting itu selalu saya tularkan ke teman-teman saya lewat tulisan yang saya pajang di blog pribadi saya.
shyahira.blogspot.com
Sayangnya, upaya dari berbagai sekolah dan institusi pendidikan untuk menyinergikan pendidikan di rumah dan di sekolah dengan mengadakan “Parenting Skill”, hanya memberikan pemahaman yang baik kepada para orang tua saja.  Tetapi, masih melupakan satu hal yang selama ini belum tersentuh dengan layak.  Yaitu “Domestic/baby sitter Skill” (keterampilan bagi pembantu rumah tangga). 
Sepertinya para pemangku jabatan di sekolah-sekolah perlu mengupayakan lagi, bahwa pembantu pun harus disinergikan dengan orang tua dan guru lewat pelatihan secara khusus karena kebanyakan dari mereka masih menganut sistem pendidikan tradisional yang mereka dapatkan dari orang tua atau kakek neneknya.  Anda punya pengalaman lain?

Jumat, 27 April 2012

Essay

 
SURAT UNTUK WAKIL RAKYAT


Kepada, yth:
Wakil rakyat di DPR
Yang penuh harapan
Akan kesejahteraan dan kedamaian rakyat


Bapak/Ibu, wakil saya, wakil kami, wakil semua rakyat yang menunggu-nunggu akan datangnya hari gemilang di masa depan.
Bapak/Ibu, tempat naungan kerinduan rakyat,
Masih segar dalam ingatan saya Bapak, ketika melihat televisi sore hari tentang laporan pembagian zakat.  Betapa ibu-ibu renta itu lemas dan kehabisan nafas, diangkut ambulan dengan drackbar seadanya.  Masih belum hilang juga dari retina mata saya, seorang perempuan kecil lugu, diangkat dari kerumunan kegilaan sambil bergulat dengan ajal.  Tangan kecilnya, meraih-raih lemas mencoba menjangkau sandaran hidup. 
Di bagian lain, seorang ibu hamil, menangis penuh keputusasaan, mencoba melindungi darah daging dalam perutnya, dari himpitan massa.  Seorang tua menggendong cucunya yang masih bayi, berteriak-teriak memohon pertolongan sambil melindungi si cucu kesayangannya, dari hempasan gelombang dan amukan orang-orang yang semakin kesurupan oleh secuil uang.
Tahukah Anda Bapak, Ibu?  Mereka berjuang menantang maut, demi sekedar  menunggu satu titik kecil di tengah himpitan kemiskinan sejumlah Rp 30.000,00,  yang mungkin hanya dapat menghidupi mereka barang satu atau dua hari. Ironis sekali, mengharukan, melarutkan lubuk hati yang paling dalam.  Rakyat kita, sekarang menjadi gila.  Gila oleh kemiskinan dan hilangnya harapan.  Putus asa, tanpa pernah tahu kapan mereka mampu meninggalkan keputusasaan itu. 
Saya terus-menerus berlinang air mata Bapak, Ibu.  Terus-menerus sampai siaran itu digantikan oleh iklan.  Dilanjutkan lagi dan iklan lagi.  Tak terperikan pedihnya hati saya kelak, jika rakyat yang sudah fakir ini semakin tak punya harapan.  Sampai sempat terbayangkan hal buruk, kefakiran itu akan membawa kepada kekafiran. 
Betapa perasaan berdosa itu semakin menghantui diri saya, saat diri ini merasa tidak mampu berbuat apa-apa. Dan semakin pedih saja, ketika sejurus kemudian para “orang pintar” berbicara di TV dengan bahasa saling menyalahkan. 
Mereka dibayar, Pak.  Mereka diberi honor tinggi sekedar berbicara sebentar di TV.  Sementara, disaat “orang pintar” ini menerima amplop honor, di saat yang sama, pencari-pencari  penghidupan itu ada yang sudah meninggal dalam kepapaan.  Seorang generasi penerus bangsa menjadi yatim, seorang ibu tiang negara, menjadi janda.  Dan mereka akan terus berkubang dalam kesengsaraan itu.
Bapak, ibu wakil rakyat, penyambung lidah rakyat. 
Tempat kami para kawula alit ini gantungkan harapan.
Tempat kami para abdi negara ini memendam suka dan duka dalam kesahajaan.
Kami mohon, lihatlah guru-guru yang sudah sepuh dengan segala keterbatasannya.  Guru-guru yang masih muda-muda dengan idealisme tinggi tapi kalah oleh keadaan.  Guru-guru SLB yang penuh dengan kasih sayang, sabar serta telaten.  Merekalah  sokoguru bangsa , Ibu.    Dari merekalah meluncur pemimpin-pemimpin bangsa ini.  Mereka ikhlas dalam terkaman angin dan hujan.    Bahkan dalam raungan kendaraan bermotor dengan asap menebal.  Menuju sekolah, ladang bakti dan pahala.  Hanya niat dan ketulusan yang mereka punya.  Lain itu, tidak ada. 
Ibu tahu?  Betapa mereka selalu kebingungan saat tahun ajaran baru tiba?  Harga buku tulis melangit, seragam membubung tinggi, bahkan iuran sekolah dengan segala tetek bengeknya turut mendentum dalam jantung dan qolbu mereka.  Rupanya dana BOS itu belum cukup juga memberikan ruang waktu bernafas sedikit pada pasak pengeluaran mereka.  Besarnya tunjangan fungsional yang keluar tiap tahun dengan kuota yang super press, sehingga sebagian tidak menerima.  Besarnya tunjangan sertifikasi yang hanya dipunyai oleh kalangan lulusan S1 saja.  Sementara mereka hanya termangu dengan segala kepedihan hati.  Bagaimana tidak?  Mereka tetap belum bisa bersekolah sampai lulus S1 karena ketuaan, kepapaan, meski pengabdian sudah berpuluh tahun.
Perhatikanlah mereka, Pak.  Para guru yang bersusah payah hidup dalam roda zaman yang semakin murka dari hari ke hari.
Para wakil rakyat di dewan
Tempat kami bernaung
Tempat kami menuangkan segala keluh kesah kami
Lihatlah bagaimana para buruh pabrik itu selalu dalam posisi yang kalah dalam bargaining.  Mereka dipenjara dengan “kontrak kerja”.  Dan itulah kondisi sebenarnya.  Bekerja giat sepenuh hati, tapi siap untuk diganti, dan sulit mencari pengganti.  Berapa ratus ribu orang-orang seperti mereka, Pak, Bu?  Padahal merekalah ladang devisa bagi para kontraktor dan investor.  Janganlah dijadikan seperti manisnya tebu, begitu sepah lalu dibuang.  Janganlah dijadikan seperti sapi perah, begitu tua disembelih dan dagingnya dijual murah.  Mereka manusia, Pak, Bu.  Mereka tulang  punggung keluarga.
Pernahkan Anda mendengar jeritan anak mereka di malam dingin saat hujan deras?  Berteriak meminta susu hangat, sementara yang diterimanya “air gula” atau “teh manis”.  Pernahkan Anda mendengar keluhan istri mereka?  Memelas  butuh beras, minyak tanah dan gula.  Sementara yang mereka terima hanyalah ketela, kayu bekas bangunan rusak dan pemanis buatan.  Seberapa kuatkah tubuh mereka bertahan?  Saya tidak dapat membayangkan apa jadinya masa depan bangsa ini jika tubuh rakyatnya hanya terisi makanan seadanya?  Tanpa gizi dan vitamin yang memadai?
Tolonglah Bapak, Ibu.  Kami dalam kondisi kekurangan.  Berikan kami pancing dan kail.  Sehingga kami tetap bermartabat mencari penghidupan yang layak.  Entaskan kami dari kebodohan dengan bantuan sekolah dan alat-alatnya yang murah.  Entaskan kami dari kemiskinan dengan memperhatikan nasib para guru.  Karena merekalah yang membimbing anak-anak kami. Dan entaskan kami dari penjara “kontrak kerja”.  Karena kami ingin anak-anak kami punya sandaran hidup sampai kami tidak kuat lagi bekerja.
Terima kasih bapak, Ibu.  Doa kami selalu menyertai perjuanganmu.


English Version
LETTERS TO THE DEPUTY

Dear:Representatives in the House of RepresentativesA hopefulThe welfare and peace of the people

Mr/Mrs, my representatives, our representatives, representatives of all the people who wait the coming glorious day in the future.Mr / Mrs, where shade longing of the people,Still fresh in my memory Father, when he saw television reports about the division of the evening charity. How old mother was weak and out of breath, were transported by ambulance drackbar potluck. Still have not gone well from the retina of my eye, an innocent little girl, lifted from the madness of the crowd as he wrestled with death. His little hands, groping limp attempt to reach back to live.On the other, a pregnant woman, despairing cry, trying to protect the flesh in his stomach, from the crush of the masses. An old man holding his grandson who was a baby, screaming pleading for help while protecting the beloved grandson, from the raging waves and waves of people getting possessed by a bit of money.Did you know Dad, Mom? They strive to challenge death, to just wait a little dot in the middle of the crush of poverty some Rp 30.000,00, which may only be able to feed them a day or two items. Ironically, moving, dissolving the deepest depths. Our people, now gone mad. Mad by poverty and hopelessness. Despair, never know when they are able to leave despair.I am constantly in tears Mr, Mrs. Broadcast continuously until it is replaced by the advertisement. Continued again and again ad. Unbearable pain of my heart one day, if people are already poor are increasingly hopeless. Until it was unimaginably bad, it will bring poverty to disbelief.What a sense of sin was the haunt me, when it feels itself unable to do anything about it. And the more poignant, when A moment later the "smart people" talking on TV with the language of blame.They are paid, sir. They were given a high honor just to speak briefly on the TV. Meanwhile, while "smart people" received the honor envelope, at the same time, the search-seekers living there who had died in poverty. An orphaned young generation, a pillar of the state capital, became a widow. And they will continue to wallow in misery.Mr/Mrs, representatives of the people, a mouthpiece for the people.The subjects where we are hanging hopes alit.Where we the servants of this country harbored the ups and downs in the simpleness.Please, take a look at the teachers who are elderly with all its limitations. The teachers are still young with high ideals but lost by the state. Special school teachers filled with love, patience and painstaking. They are the pillars of the nation, Mother. They drove from the leaders of this nation. They are sincere in terkaman wind and rain. Even the roar of a motor vehicle with thick smoke. To school, field service and reward. Only intention and sincerity that they have. Another, no.You know? How they are always confused when the new school year arrives? Notebook prices soar, soar uniforms, school tuition, even with all the thunder tits bengeknya participate in their heart and qolbu. BOS funds were apparently not enough to give a little breathing space of time they spend on the pegs. The magnitude of functional benefits that come out every year with a super quotas press, so most do not accept. The amount of benefits that certification is only possessed by the graduates of S1 alone. While they were all just stunned with grief. How not? They still have not been able to attend school until graduation S1 because of aging, poverty, despite decades of devotion have.Consider them, sir. The teachers are struggling to live in the wheel of increasingly angry from day to day.Representatives in the councilWhere we take shelterWhere we pour all our complaintsLook at how the factory workers were always in the losing position in the bargaining. They were imprisoned by the "employment contract". And that's true condition. Work hard all my heart, but ready to be replaced, and it is difficult to find a replacement. How many hundreds of thousands of people like them, sir, ma'am? In fact they are the fields of foreign exchange for the contractors and investors. Do not be like the sweetness of sugar cane, and then discarded as junk. Do not be such as dairy cows, so parents are slaughtered and the meat sold cheap. They are humans, sir, ma'am. They are the backbone of the family.Have you heard the cries of their child on a cold night in heavy rain? Called out for warm milk, while he received "sugar water" or "sweet tea". Have you heard the complaints of their wives? Pleading need rice, kerosene and sugar. While they receive is just sweet, old wooden buildings were damaged, and artificial sweeteners. How strong is their bodies to survive? I can not imagine what would happen if the future of this body of people just filled potluck meal? Without adequate nutrients and vitamins?Please Mr/Mrs. We are in a state of deficiency. Give us a fishing line and hook. So that we remain dignified looking for a decent livelihood. Alleviated with the help of our ignorance of the school and his tools are cheap. Our alleviated from poverty by taking into account the fate of the teachers. Because they are guiding our children. And alleviated us from prison "employment contract". Because we want our children to live until we got back strong no longer works.Thank you, Mrs. Our prayer is always with struggles.